Sabtu, 21 Agustus 2010

Tragedi di Bulan Ramadan (4-Tamat)
Semalaman kami tidak bisa tidur. Jubaedah dan Samiri tak lepas dari mukenanya dan terus berdoa. Sementara aku asyik mengobrol dengan si kakek. Pria tua itu penduduk asli Pulau Batam yang sudah lama tinggal di pulau kecil yang hanya dihuninya sendiri itu.

Ia tinggal di sana karena tidak kerasan dengan kehidupan Batam yang sudah metropolitan dan jauh dari tradisi nenek moyang. Si kakek ditinggal istrinya sepuluh tahun silam dan tinggal bersama anak angkat. Si anak yang sudah berusia tujuh tahun dan tadinya kukira cucunya itu dulunya bayi yang dibuang dan ditemukan si kakek di pulau ini.

"Kedatangan kalian sebagai tamu tak diundang justru sangat menggembirakan hati," katanya. Betapa tidak, ia rindu akan alunan ayat-ayat suci Alquran yang dibacakan Samiri dan Jubaedah. Ia juga senang melihat kami melaksanakan salat fardu dan tarawih berjemaah. Si kakek mengaku muslim, namun selama hayatnya tak pernah melaksanakan kewajiban itu. Apalagi di pulau itu tak ada sarana ibadah dan tak pernah terdengar azan. "Insya Allah kakek akan mencoba belajar salat. Kakek merasa berdosa menjadi orang Islam yang tak pernah melaksanakan kewajiban," katanya jujur. Kami pun mengucapkan hamdalah.

"Kakek, tolonglah kami. Kami ini korban penipuan sekelompok orang yang bermaksud menjerumuskan kami ke limbah nista. Beruntunglah Gusti Allah masih memberikan pertolongan, sehingga kami diberi keselamatan. Meski kami harus dibuang ke pulau kecil ini," kataku.

"Kalau kalian percaya sama kakek, istirahatlah semalam di rumah ini. Biar besok kakek akan melapor ke petugas di Pulau Batam. Mudah-mudahan ada orang yang bisa membantu kalian dan mengantar pulang ke Jakarta," katanya. Kami percaya dan menuruti apa yang dikatakannya.

Esoknya si kakek pergi ke Batam menggunakan perahu. Sebelum berangkat Jubaedah dan Samiri berpesan agar si kakek bisa menjualkan anting-anting emas yang mereka pakai. Uang dari penjualan emas ini akan digunakan untuk ongkos pulang dari Jakarta ke Garut. Dengan senang hati si kakek mau menolong menjualkan anting-anting Samiri dan Jubaedah itu.

SAMBIL menunggu kedatangan si kakek, kami terus berdoa. Minta tolong kepada Allah agar bisa kembali ke kampung halaman dan bersua dengan keluarga. Kami yakin atas pertolongan Allah yang telah menyelamatkan kami dari jeratan nafsu serakah. "Jika kita jadi korban seperti apa yang pernah diceritakan si kakek, apa jadinya? Ya Allah terima kasih atas pertolongan-Mu," kataku sabil mencucurkan air mata. "Ya keselamatan kita mungkin berkat dorongan doa dari suami, ayah, ibu mertua, anak-anak serta saudara di lembur. Kebetulan kita bekerja dilandasi niat ibadah mencari rezeki halal dan berkah," kata Jubaedah

Si kakek datang penuh kegembiraan sambil membawa ikan. Ia mengabarkan bahwa nanti sore akan singgah sebuah kapal angkutan barang yang akan mampir ke Pelabuhan Merak Banten. Katanya, awak kapalnya bersedia mengangkut kami. Si kakek juga menyerahkan uang ratusan ribu rupiah hasil menjual anting-anting milik Jubaedah dan Samiri.

Selang beberapa jam kapal barang yang dimaksud merapat di pulau. Para awaknya langsung menjemput kami yang sudah duduk di halaman rumah si kakek. Kami merasa enggan berpisah dengan kakek yang baik hati itu. Namun si kakek dengan rela mengizinkan kami pulang sambil menintipkan kami kepara awak kapal yang mengaku asal Cirebon itu. "Terima kasih atas kebaikan Kakek. Semoga amal kebaikan Kakek mendapat balasan berlipat ganda dari Allah SWT," kata kami sambil mencium tangan si kakek yang sudah keriput itu. "Sama-sama. Padahal kalau bisa Ibu-ibu tinggal dulu di sini sambil mengajar salat dan mengaji," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Kapal pun berangkat dari pulau menuju arah selatan. Entah kami berada di lautan mana, yang penting siang itu kami tetap melaksanakan ibadah puasa dan sebentar lagi di tengah lautan kami akan berbuka. Para awak kapal begitu senang ditemani kami yang sedang berpuasa. Saking hormatinya, mereka pun tak ada yang berani merokok atau makan minum di depan kami. "Mohon maaf kamni tak puasa. Habis gimana namanya pelaut, berat sekali mengosongkan perut dan menahan dahaga," kata salah seorang awak.

Meski demikian mereka amat menghormati orang yang berpuasa. Bahkan mereka berjanji akan mengantar kami hingga merapat ke pantai Merak. "Silak makan saja makanan yang kami untuk berbuka puasa. Mungkin menjelang subuh kita tiba di Merak," katanya.

Betul juga. Dari kejauhan tampak cahaya terang benderang. Lampu mercusuar dari atas bukit pantai menyoroti sejumlah kapal dan perahu yang sedang lalu-lalang di lautan. Kami yakin cahaya lampu itu Pelabuhan Merak. Sebentar lagi kami sampai ke sana. "Alhamdulillah ya Allah! Ternyata para awak kapal yang dikira akan berbuat jahat itu baik hati. Kami akhirnya sampai ke Merak," kataku sambil mengangkat kedua belah tangan.

Saat kami turun dari kapal tak seorang awak pun yang mau menerima uang dari kami. Mereka menolaknya. Bahkan sebaliknya ada yang rela memberi uang puluhan ribu rupiah untuk ongkos pulang ke Cianjur. Setelah makan sahur di Merak, kami naik bus jurusan Bandung dan sampai di Cianjur siang hari. Kami berpisah di Terminal Cianjur dan pulang menuju rumah masing-masing.

Sesampai di rumah semua keluarga kaget dan menanyakan mengapa aku pulang. Lalu kuceritakan semua apa adanya. "Aku pulang karena pertolongan dan kehendak Allah!" Mendengar kisahku semua keluargaku menangis dan memelukku sambil mengucap syukur alhamdulillah. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar