Sabtu, 21 Agustus 2010

KISAH MENGHORMATI BULAN SUCI
Ditulis oleh K.H.M. Fuad Riyadi
Thursday, 18 September 2008
Mbah Joyo Kandar (usia kira-kira 65) seorang buruh kasar. Pekerjaan apa saja yang penting menghasilkan upah halal, dikerjakannya. Modalnya cuma sehat dan otot mrekekel (penuh tonjolan). Pernah intensif jadi tukang becak, tapi tiga tahun terakhir ini lebih sering jadi buruh bangunan, tepatnya laden tukang. Kalau hanya menilik usia dan penampilannya yang serba tua, orang bisa kecele: ia lebih rajin dan produktif dibandingkan dengan rekan-rekannya yang masih remaja sekalipun! Ini diakui (dan ditakjubi serta jadi rebutan) para mandor yang pernah jadi atasannya.

Seperti pekerjaan apa saja yang lainnya, Mbah Joyo Kandar kadang harus menghadapi tantangan. Kesehatan yang kadang memburuk, misalnya. Termasuk juga Bulan Suci Ramadhan yang panasnya luar-biasa seperti tahun ini. Namanya juga ramadhan, bulan yang asal-usulnya di jazirah arab sana dinamai ramadhan karena bulan yang panas membakar luar biasa. Bisa kita bayangkan: kerja di tempat terbuka sebagai buruh bangunan diteriki panas membara matahari sepanjang hari, bagaimana keringnya kerongkongan dihajar haus-dahaga luar biasa…

Satu dua hari pertama, Mbah Joyo Kandar masih kuat berpuasa, selebihnya, “Saya benar-benar tak kuat menahan haus dahaga. Saya hanya minum, tidak makan.” Begitulah pengakuan yang tak dibuat-buat, mengiris rasa kemanusiaan kita.

Kisah mulai berlanjut ketika pada malam ramadhan hari ke 16, anak perempuan Mbah Joyo Kandar, Suparmiyati (38 tahun), mengajaknya berdiskusi. Intinya, si anak minta dengan sangat supaya si bapak “cuti kerja” sampai selesai ramadhan agar bisa berpuasa. Si anak juga menyatakan, tiap pekan akan memberi kompensasi gaji. Meski awalnya lengkat-lengkot, akhirnya keduanya sepakat.

Lalu, bagaimana dengan nasib jutaan pekerja kasar seperti Mbah Joyo Kandar lainnya? Memang, ada sebagian ulama berpendapat, pekerjaan bisa jadi alasan yang dibenarkan agama untuk tidak berpuasa. Tapi, alangkah indahnya kalau ada banyak sponsor seperti anak perempuan Joyo Kandar tersebut.

Kang Mukhlis (29 tahun, pemborong bangunan), dulu sewaktu masih jadi “let-tu”, bukan letnan satu tapi laden tukang, punya “ijtihad” dalam menghadang terbakarnya kerongkongan ketika bekerja di Bulan Ramadhan. Ketika rehat siang, saat banyak teman seperjuangannya membatalkan puasa tak kuat rayuan es teh atau es jeruk, Kang Mukhlis pilih lari ke kamar mandi: mengguyur sekujur badan mulai dari rambut kepala. Byur, byur, byur, yang penting tidak minum dan agar jangan sampai dehidrasi. Puasa tetap jalan, badan lumayan segar.
Lain lagi dengan Kang Supar (lengkapnya Kang Supardi. Dia seorang pemborong bangunan otodidak. Tahun 1980, dia jadi pemborong bikin rumah Bapak. Dia muslim yang baik. Semua pekerjanya pun muslim. Saya ingat, ramadhan pada tahun itu jadwal pengerjaan rumah diubah oleh Kang Supar jadi malam hari agar semua pekerja bisa berpuasa. Selesai sholat taraweh sampai saatnya diakhiri makan sahur bersama. Kira-kira star jam 20.00 WIB, berakhir pukul 04,00 WIB. Malam kerja, siang seharian tidur dalam keadaan berpuasa. Saya, waktu itu baru 10 tahun, sekilas mendengar evaluasi Kang Supar dan Bapak dengan kesimpulan mengagetkan: volume dan kualitas pekerjaan kerja malam di Bulan Ramadhan jauh diatas kerja siang di bulan-bulan sebelumnya!

Kalau saja para pemborong pekerjaan-pekerjaan kasar mau peduli seperti Kang Supar, pastilah banyak anak buah mereka bisa berpuasa tanpa harus tersiksa panas-haus-dahaga yang membakar.

Kenyataannya, tidak banyak yang seperti anak perempuan Mbah Joyo Kandar dan pemborong Kang Supar serta secerdik Kang Mukhlis. Begitu banyak pekerja kasar yang terpaksa tak kuat berpuasa. Hanya sedikit sekali diantara mereka yang luar biasa tegarnya: tetap berpuasa meski pun entah bagaimana deritanya…Ya Allah, pastilah mereka hamba-hamba pilihanMu.
Ada lagi kisah nyata berkait dengan Bulan Ramadhan ini, yakni tentang Kang Wahadi. Dia punya warung sate kambing di rumahnya, warung warisan turun-temurun (Kang Wahadi ini generasi ke 4, kalau tidak keliru), warung kecil-kecilan dengan hasil sekadar untuk mencukupi kebutuhan makan dan sekolah (sampai lulus SMA saja) 3-4 anak dan 1 istri dengan gaya hidup sangat sederhana. Jam buka warung ini mulai pukul 10.00 wib- 20.00 wib.

Yang menarik, Kang Wahadi itu setiap hari menyisihkan uang laba dari jualan satenya alias menabung. Dulu, saat 1 dolar Amerika = 2,4 ribu rupiah, Kang Wahadi tiap hari menabung 1 ribu rupiah. Untuk apa menabung? Ternyata, tabungan itu digunakan untuk biaya hidup selama Bulan Ramadhan. Lho? Setiap Bulan Suci, sate kambing Kang Wahadi full tutup. Kok?

“Sejak dulu, zaman mbah-mbah saya, semua juga menabung untuk persiapan libur jualan sate kalau Ramadhan. Saya hanya meneruskan saja. Lagi pula, kalau saya rasakan dan saya renungkan, rasanya kok rugi kalau Bulan Ramadhan kok cuma dipakai untuk cari uang. Lha wong kalau kita beribadah itu pahalanya dilipatgandakan, tur yo nek (apalagi) Bulan Ramadhan itu nek (kalau) ngibadah (beribadah) rasanya lebih nyamleng (nikmat) kok malah ‘gimana…” Begitulah kurang-lebih jawaban Kang Wahadi.

Tapi, begitu lebaran tiba, warung sate Kang Wahadi di Jalan Imogiri Timur Dusun Wonokromo itu langsung buka. Saya ingat, waktu kecil dulu, rumah (sekaligus warung) Kang Wahadi itu jadi jujugan (tujuan) utama anak-anak ujung-ujungan (tradisi saling mengunjungi di hari raya). Sebab, kalau ke sana, kami pasti dapat suguhan special: nasi gule dengan segenap canda tawa Kang Wahadi yang luar biasa aora kasih-sayangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar